Mengintip "Ketika Cinta Bertasbih di Mesir"



Kisah kehidupan mahasiswa di Cairo, Mesir sepertinya menjadi genre novel-novel karya Habiburrahman El Shirasy (Kang Abik). Setelah sukses dengan Ayat-Ayat Cinta yang diangkat ke film layar lebar, novel karyanya Ketika Cinta Bertasbih kini juga difilmkan. Kali ini, rumah produksi Sinemart Pictures milik Leo Sutanto tengah menyelesaikan adaptasi novel dwilogi Kang Abik berjudul “Ketika Cinta Bertasbih”.

Tak tanggung-tanggung, dua nama besar perfilman nasional, Chaerul Umam dan Imam Tantowi akan berduet sebagai sutradara dan penulis skenario. Sangat menarik, mengingat prestasi Chaerul yang telah meraih Piala Citra 1992 di Ramadhan dan Ramona dan penghargaan pada Festifal Film Asia 1977 di film Al Kautsar. Film terakhir Bang Umam berjudul Fatahilah, sudah 11 tahun yang lalu, jadi pembuatan film ini adalah tantangan baginya untuk berusaha menghasilkan film religi yang terbaik, begitu juga bagi Imam Tantowi yang meraih Citra 1991 di Soerabaia’45 untuk sutradara terbaik dan Citra 1989 di Si Badung untuk kategori Penulis Cerita Terbaik.

Di Mesjid Al Azhar, Bang Umam, Kang abik dan Ustadz Ridwan


Pembuatan film ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dalam penentuan calon pemain filmnya. Tokoh-tokoh utama, seperti Azzam, Ana, Eliana harus melalui proses rekrutmen audisi yang berat. Kabarnya lebih dari 5000 orang yang ikut audisi. Untuk tokoh-tokoh “saleh dan salehah” seperti Azam dan Ana selain punya talenta acting, juga harus pandai mengaji dan paham ayat-ayat Al Qur’an. Subhanallah.

Pemeran Ana, bersama para ibu KBRI


“Ketika Cinta Bertasbih (KCB)” yang terdiri atas dua buku memakai dua setting latar Mesir dan Indonesia. Episode pertama mengenai pengembaraan Khairul Azzam untuk menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo, dan perjuangannya selama sembilan tahun untuk menyelesaikan studi S1 di Al-Azhar sambil mencari biaya pendidikan adik-adiknya di tanah air dengan berjualan bakso dan tempe pada para mahasiswa maupun warga Indonesia di Kairo.

Untuk episode dua mengenai pencarian cinta Khairul Azzam di tanah kelahirannya (Pulau Jawa). Episode dua akan membuat Anda berlinang air mata saat Azzam kehilangan orang yang sangat dicintainya dan kenangan Husna (Adik Azzam) ketika Ayah mereka meninggal dunia.

Salah satu sisi Gedung KBRI


Alhamdulillah, saya berkesempatan mengikuti pembuatan Film KCB di Cairo, Mesir. Ketika itu saya dan rombongan hadir pada saat pengambilan gambar di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Cairo. Bapak AM Fachir beserta ibu mengizinkan kru KCB untuk melakukan pengambilan gambar di gedung KBRI nan megah. Menurut Ibu Fachir, gedung kedutaan di Mesir ala “White House” ini hanya dimiliki oleh 3 negara, yakni Republik Indonesia, USA dan Kerajaan Inggris. Untuk KBRI, selain megah letaknya sangat strategis di daerah Doki dekat Sungai Nil. Gedung ini pemberian dari Boutros Boutros Ghali, mantan SekJen PBB asal Mesir. Pengambilan gambar di KBRI sangat penting bagi Film KCB, karena di film ini, karakter Eliana yang diperankan oleh Alice Norin, adalah puteri dari Duta Besar RI untuk Mesir.

Bersama Cholidi, pemeran Azzam, di pintu masuk KBRI


Begitu tiba, kami disambut Azzam, alias Kholidi pemeran utama pria. Berpakaian ala Chef, kepala koki. Saat itu sedang pengambilan gambar untuk acara Food Bazaar dan Festival Indonesia, seperti di novel. Ada sate, soto dan beragam panganan khas Indonesia. Azam sebagai juru masak yang memasak di salah satu stand. Selain itu ada persembahan tarian Aceh di atas panggung. Suara riuh rendah para penari Saman membuat semarak suasana. Tamu-tamu dari berbagai negara hadir di acara tersebut.. Ada dari Afrika, Turki dll. Mereka adalah penduduk Mesir yang diminta berperan sebagai diplomat. Namun sayang, karena “bule”nya kurang, tak ayal Ayah Alice Norin yang saat itu semula hanya datang untuk mengunjungi anaknya yg berperan sebagai Eliana, didaulat sebagai extra talent oleh Chaerul Umam menjadi Diplomat Norwegia. Beliau memang asli Norwegia. Kata Alice, ayah saya orangnya pendiam dan biasanya gak mau tampil.. tapi kog saat ini bersedia ya..? katanya sambil tersenyum geli.

Bersama Alice Norin, pemeran Eliana


Ibu Dubes saat itu juga "heboh", beliau seperti layaknya asisten sutrada, mengerahkan para ibu dan staf KBRI untuk turut membantu pengambilan gambar. Menurutnya beliau turut mempersiapkan setting dekorasi, termasuk gubuk-gubuk untuk stand makanan, juga payung dan ornamen tradisional lainnya yang sengaja di ”impor” langsung dari Indonesia. Selain itu beliau juga menyiapkan makan siang untuk para pemain film dan kru.


Saya sempat merasakan serunya pembuatan film ini, ketika diminta menjadi pemeran figuran (ha..ha..) dimana harus mendampingi Bapak dan Ibu Din Syamsuddin yang berperan sebagai cameo, alias berperan sebagai diri sendiri dalam film tersebut. Pak Din sengaja diminta untuk ikut tampil dua scene, sebagai tokoh Indonesia yang hadir di acara bazaar tersebut. Yah lumayan.. meski cuma sekelebat saja di film.. he..he..

Pengambilan gambar untuk acara Food Bazaar dan Festival Indonesia berlangsung seharian, dari pagi hingga pukul 4 sore. Karena cuaca di Mesir memasuki musim dingin, sehingga pukul 5 sore seperti sudah memasuki Maghrib. Bang Umam harus segera menyelesaikan adegan demi adegan secepat mungkin, khawatir keburu gelap..

Tari Saman

Persiapan shooting


Para "tamu manca negara"

Menurut Mas Dani, staf Sinemart, hampir seluruh obyek wisata di Mesir digunakan untuk pengambilan gambar, termasuk Istana Momtazah, Benteng Qid Beay di Alexandria, Giza Piramid, Masjid al Azhar dan tentu saja Sungai Nil. Yang susah adalah pengambilan gambar di Pasar Kalili. Pasar yang menjual beragam produk kerajinan khas Mesir sangat padat dan ramai dikunjungi baik penduduk lokal maupun turis asing. Mereka tidak mau di usik ketenanganya.. sehingga ketika pengambilan gambar.. ada yang tiba-tiba berjalan ke arah kamera begitu saja. Ketika diberi tahu bahwa ada shooting film, mereka tersinggung, katanya “ini daerah saya”...

Pasar Kalili

Kisah mahasiswa di Mesir memang menginspirasi Kang Abik untuk karya-kaya novelnya. Dahulu saya berharap banyak, bahwa Film Ayat-ayat Cinta dapat sebagus kisahnya di novelnya. Saya sempat ikut napak tilas ayat-ayat cinta bersama Kang Abik ke Cairo, bahkan sampai ke daerah Helwan, apartemennya Fahri, tokoh utama dalam novel. Tapi sedih ketika melihat filmnya tidak mengambil adegan di Mesir.

Kini, Film Ketika Cinta Bertasbih hampir sebagian besar adegannya diambil di Mesir. Semoga film ini dapat berhasil memenuhi harapan para penggemarnya. Sebab film ini benar-benar ditunggu banyak orang. Dengan biaya yang besar dan keseriusan penggarapannya, maka bisa dikatakan ini film Indonesia terbesar abad ini.

Salam,
Meita

Ibu Fachir, isteri Dubes RI untuk Mesir

Lunch, bersama Ibu Dubes di KBRI


Istana Momtazah, Alexandria

Benteng Qid Beay, Alexandria


Ditepi Sungai Nil.

Di Kawasan elite, Dokki

Comments

Popular posts from this blog

Safari Dakwah Ranah Minang

Pengalaman berobat ke Melaka (2)

How Lucky You Are